Jumat, 24 April 2009

156 OPM Menyerah - Serahkan 3 Pucuk Senjata, Diterima Langsung Menkokesra di Oksibil DETIUS YOMAN





156 OPM Menyerah - Serahkan 3 Pucuk Senjata, Diterima Langsung Menkokesra di Oksibil

OKSIBIL- Sadar akan kemajuan pembangunan yang terjadi di daerahnya dengan ditunjang fasilitas-fasilitas berteknologi, serta adanya upaya persuasif aparat keamanan, akhirnya menggerakkan hati 156 TPN/OPM yang berada di belantara Kabupaten Pegunungan Bintang, turun gunung alias menyerahkan diri.
Mereka terdiri dari kelompok Agustinus Kaproka 50 orang dan kelompok Paulus Kalakdana 106 orang, sehingga totalnya 156 orang.

TPN/OPM yang turun gunung tersebut dipimpin langsung Benidiptus dari kelompok Iwu/ Yumakot Endiri Bitdana. Disaksikan dan diterima langsung oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Aburizal Bakrie, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto dan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, serta sejumlah pejabat lainnya di halaman Kantor Bupati Pegunungan Bintang yang baru, Kampung Okyop, Distrik Dabolding, Kamis (7/8), kemarin.

Selain menyerahkan diri, mereka juga menyerahkan 3 pucuk senjata organik jenis dabloop dan 10 amunisinya.

Ratusan TPN/OPM tersebut menyerahkan diri bertepatan peresmian Kantor Bupati dan kantor DPRD Kabupaten Pegungan Bintang, Kamis (7/8), kemarin. Ditandai pembacaan berita acara oleh salah satu perwakilan TPN/OPM Benidiptus Jamkin, yang selanjutnya prosesi perdamaian dengan Menkokesra. Selanjutnya berita acara itu ditandatangani perwakilan OPM Benidiptus Jamkin, Mendagri Mardiyanto, Wagub Alex Hesegem, dan Danrem 172/PWY Kolonel CZI I. Made Sukadana.

Seusai penandatanganan dilanjutkan penyerahan bendera merah putih kepada TPN/OPM oleh Mendagri dan diakhiri foto bersama.

Sementara Dandim 1702/ Jayawijaya Letkol Inf Grandy di tempat terpisah mengatakan, kesadaran para TPN/OPM tersebut menyerahkan diri tidak terlepas dari segala upaya pendekatan persuasif yang diberikan aparat, sehingga niat baik tersebut harus mendapat dukungan penuh dari pihak Pemerintah untuk memberikan fasilitas perumahan, agar mereka juga dapat dilibatkan dalam pembangunan.

“Niat tersebut merupakan niat baik yang perlu diseriusi Pemerintah,dalam melibatkan mereka (TPN/ OPM red) dalam pembangunan,” ujarnya.

Dirinya juga akan berupaya untuk memberikan uaya-upaya persuasif agar masyarakat lainnya lagi yang masih di hutan karena berbeda pendapat dengan konsep bingkai NKRI agar segera kembali ke tengah masyarakat dan beraktivitas seperti biasa.

Sedangkan bunyi isi berita acara itu antara lain, menyatakan menerima penyerahan diri masyarakat yang berbeda pendapat dengan negara ke satuan RI kembali ke pangkuan ibu pertiwi NKRI, atas nama anggota dan Benniditus Jamkin dengan sejumlah catatan. Antara lain, 1 Setia kepada NKRI berdasarkan pancasila dan UUD 1945, 2 Tidak bergabung kembali dengan kelompok masyarakat yang berbeda pendapat dengan NKRI dan membantu menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kab Pegunungan bintang dan 3 Mendukung program pembangunan di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang.

Menkokesra saat menggelar jumpa pers di Bandara Sentani seusai kunjungannya ke Pegunungan Bintang, Kamis (7/8) kemarin mengatakan, setelah meresmikan Kantor Bupati Pegunungan Bintang, dirinya menerima 156 orang yang tadinya berseberangan dengan NKRI untuk kembali ke pangkuan NKRI.

“Mereka itu dari kelompoknya Agustinus Kaproka 50 orang, dan dari kelompok Paulus Kalakdana 106 orang. Dalam kesempatan itu, mereka juga menyerahkan 3 pucuk senjatanya,” kata Aburizal Bakrie.

Dikatakan, kepada mereka dan masyarakat di sekitar daerah itu, diberikan 400 unit rumah, berikut listrik mikro hidro dan fasilitas lainnya dengan dana Rp 98 miliar dari APBN. “Jadi pembangunan ini tidak hanya bagi orang-orang yang kembali ke NKRI, tapi juga bagi rakyat di sekitar tempat itu,” tuturnya.

Dengan adanya ini, pihaknya berharap bahwa kelompok lainnya juga segera kembali ke NKRI, seperti kelompok Tadius Yogi di Enarotali, kelompok Kelik Kwalik di Timika dan kelompok Guliat Tabuni di Puncak Jaya. “Kita berharap mereka bias turun gunung dan mulai membangun Papua dengan damai,” harap Menko Kesra.

Pada kesempatan itu, Ical panggilan akrab Menko Kesra juga menjelaskan, pada 6 Maret 2008 lalu, pihaknya telah meresmikan suatu pemukiman terpadu di Distrik Konero Kabupaten Tolikara yang pendanaannya berasal dari dana pasca bencana/konflik tahun 2006.

Setelah itu, di Wamena, Menko Kesra menerima 36 orang mantan kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah yang kembali ke pangkuan NKRI.

Pada kesempatan itu, pihaknya berjanji membantu keinginan masyarakat tersebut untuk mendapatkan pemukiman yang layak. Setelah melakukan perencanaan dan berkoordinasi dengan Pemprov Papua, akhirnya terbit persetujuan pemerintah pusat senilai kurang lebih Rp 40 miliar untuk pembangunan di tiga tempat, yaitu Balingga, Melagaineri dan Kuyage yang berupa 100 unit perumahan tipe 36, Puskesmas Pembantu (Pustu), balai desa, pembangkit listrik mikro hidro, demplot pertanian, rehabilitasi sekolah, sarana air bersih dan jalan desa.

“100 unit rumah itu untuk 20 orang tokoh masyarakat, 15 orang kepala suku, 15 tokoh agama, dan 50 orang mantan kelompok yang berseberangan dengan NKRI,” terangnya.

Sebagai tanda dimulainya pembangunan tersebut, Menko Kesra Kamis (7/8) pagi kemarin melaksanakan peletakan batu pertama di Distrik Balingga Kabupaten Lani Jaya dan direncanakan pembangunan ini akan selesai Desember 2008.

“Dengan adanya pembangunan ini diharapkan kondisi masyarakat akan semakin membaik, sehingga dengan sendirinya masyarakat yang masih berseberangan mau turun dan mau bergabung untuk membangun daerahnya. Pemda diharapkan juga membina mereka. Karena itu, saya ditugaskan oleh presiden untuk mendukung pembangunan di derah itu, karena pendekatan yang dilakukan presiden sekarang bukan lagi pendekatan keamanan, tetapi pendekatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kelompok yang belum bergabung, diharapkan mengikuti saudara-saudaranya yang sudah kembali ke pangkuan NKRI,” pungkasnya..(jim/fud/ade)

1 komentar:

  1. AKSI TUJUH ELEMEN PERGERAKAN MHS DAN PRODEM TUNTUT TOLAK TDL DAN TUTUP FREEPORT By SPMNews Surabaya Report Mar 8, 2006, 20:49
    PAPUA DIANTARA KONFLIK KEPENTINGAN DAN GENOCIDE
    By Esther Haluk
    Mar 8, 2006, 01:12


    Sahabat sekalian, ada hal-hal yang kini tengah mengusik nurani. Ada permasalahan yang benar-benar butuh perhatian kita, karena sangat urgent untuk dikaji. Mengapa tingkat kematian masyarakat, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi, apakah kematian mereka akibat penyakit, kematian normal, kecelakaan murni atau merupakan starategi genocide terselubung ??

    Pertanyaan-pertanyaan diatas terkadang sangat mengusik karena ada teman-teman yang menceritakan bahwa di kota Numbay (ibu kota Papua) tingkat kematian sangat tinggi baik akibat kecelakaan lalu lintas, sakit, pembunuhan dan sebagainya.

    Bila tinginya tingkat kematian diakibatkan karena kecelakaan murni, maka bisa kita renungkan seberapa padat lalu lintas dikota-kota Papua di banding beberapa kota besar di Jawa sehingga kecelakaan lalu lintas bisa menjadi penyebab utama tingginya tingkat kematian ? Selain itu jika memang itu akibat kriminalitas murni, maka apakah motifnya ? mengapa korban-korban kriminalitas tersebut tidak diusut sampai tuntas ? Mengapa fenomena tingginya tingkat kematian sama sekali tidak mengusik masyarakat bahkan dianggap lumrah(pemakluman-pemakluman? sedangkan tingkat pertumbuhan atau pertambahan jumlah penduduk tidak terlalu pesat karena jumalah penduduk dari BPS (Pusat Statistik 1991-kini) tidak terjadi pertambahan penduduk yang signifikan apalagi dengan tingginya tingkat kematian ibu dan bayi ditiap kabupaten di Papua.

    Dengan tingginya tingkat rata-rata kematian orang Papua setiap bulan bisa dibayangkan bahwa sebenarnya jumlah penduduk tanpa disadari semakin berkurang. Hal tersebutlah yang menyebabkan tingkat pertambahan penduduk tidak pernah lebih dari 1%.

    Dengan membeberkan fakta ini, saya tidak bermaksud untuk mengajak saudara skalian untuk berfikir picik namun saya hanya bermaksud memberi wacana tentang fenomena yang ada dalam masyarakat kita. Dengan pemaparan permasalahn diatas kita bisa bertanya sebenarnya ada permasalahan kriminalitas yang cukup akut ataukah ini bagian dari program genocide terselubung? Jika karena tingkat kriminalitas; maka kita harus kembali melihat bahwa Papua sekarang sangat beda jauh dari keadaan dulu dimana tingkat kematian tinggi karena kebiasaan perang suku dimana dendam antar suku dibayar dengan kematian anggota suku tertentu namun di era yang sudah modern ini hal tersebut tidak terjadi lagi.

    Fakta yang ada adalah kasus kematian tersebut pada umumnya terjadi diwaktu malam.Selain itu, untuk didaerah pegunungan yang terkadang sulit dijangkau terjadi juga banyak kematian namun isu yang dimunculkan justru si A atau B adalah anggota GPK/OPM. Pembunuhan lebih legal dilakukan setelah terlebih dahulu di beri stigma bahwa ia anggota OPM.Jika hal ini terus dibiarkan maka orang Papua akan semakin punah secara perlahan-lahan.

    Sudah bukan rahasia lagi bahwa sudah banyak operasi militer yang pernah dilakukan di Papua terkadang dengan terlebih dulu menghembuskan isu; misalnya isu suanggi perempuan bernama Klarce. Ketika isu ini berhembus terjadi banyak pembunuhan masyarakat khususnya laki-laki namun masyarakat bersikap pasif karena mitos local seperti ini yang dipakai.

    Satu contoh nyata lainnya adalah; sebelum pembunuhan Ketua Dewan Presidium Papua Theys Eluay didahului dengan berhembus isu manusia pembunuh bertopeng yang menyerang masyarakat yang keluar diwaktu malam. Sehingga bila ada peristiwa kematian, maka alasan utama yang akan dimunculkan adalah bahwa orang tersebut keluar dimalam hari sehingga dibunuh oleh kelompok ninja tersebut.

    Pemakluman akan keadaan tersebut sangat berbahaya karena dengan adanya permainan isu maka penghilangan ataupun pembunuhan kilat terhadap orang Papua, atau aktivis gerakan, dan para pekerja kemanusiaan dan LSM akan semakin legal. Sebagai orang Papua, kita sendiri tahu bahwa isu seperti suanggi terbang dan sebagainya tidak akan terjadi tanpa alasan yang tepat dan jelas apalagi kematian yang terjadi dilakukan secara acak dan bukan pada suku atau klan tertentu saja. Bisa dipastikan bahwa ada scenario besar dengan label genocide yang sedang dilakukan di Papua dan harus kita waspadai.

    Fakta yang pernah terpublikasi dalam bentuk tulisan; jurnal ataupun buku memaparkan dengan jelas bahwa semenjak masyarakat mulai melancarkan protes ke Pusat (Jakarta) maka tingkat kematian semakin tinggi baik oleh penyakit (AIDS) pembunuhan (kriminalitas), kematian ibu dan anak pada saat proses kelahiran, tingkat kematian akibat pengaruh zat adiktif misalnya alcohol dan narkoba. Kita bisa berkaca dari pengalaman bangsa asli Australia (Aborigin) yang dimusnakan pelan-pelan dengan pensuplaian minuman beralkohol yang mengandung racun dengan label berbeda juga kadar alcohol yang berbeda dari masyarakat kulit putih Australia. Juga pada suku Indian (Amerika) dimana pendatang-pendatang dari Eropa sengaja menyebarkan penyakit cacar, typus dan kolera serta pneumonia yang merupakan jenis penyakit baru yang tidak pernah dikenal oleh masyarakat yang menyebabkan kematian sekian puluh ribu penduduk asli Indian (Jamil Salmi).*

    Sudah bukan saatnya lagi kita membiarkan hal tersebut terjadi dengan bersikap pasif melihat kenyataan ini. Karena jika kita bersikap pasif maka kejahatan dengan penggelapan data statistic yang tidak transparan mengenai jumlah penduduk Papua akan tetap terjadi terus. Dengan penggelapan data jumlah penduduk maka akan melegitimasi penghilangan atau pembunuhan etnis secara besar-besaran yaitu dengan tetap mengedepankan jumlah fiktif sedangkan jumlah sisa dari jumlah penduduk yang sebenarnya akan dianggap sah untuk dihilangkan. Diam akan berarti bersikap pasrah dan permisif untuk dipunahkan secara pelan-pelan.

    Semenjak tuntutan masyarakat Papua semakin intens maka pengiriman pasukan militer non-organic ke Papua dilakukan dalam jumlah besar ke Papua. Hal tersebut bisa terlihat dari banyaknya ojek diberbagai kota di Papua, atau pedagang keliling yang menjajahkan barang dagangan sampai kedaerah pelosok Papua untuk mendata dan memata-matai semua kegiatan masyarakat. Pengiriman pasukan militer tersebut juga didukung dengan UU Anti Terorisme, RUU TNI yang disahkan oleh DPR.

    Selain kedua produk hokum diatas, saat ini RUU Pengamanan Objek Vital Negara oleh TNI sedang diusahakan untuk diberlakukan demi menanggulangi tidak terulangnya kasus-kasus protes atau pemblokiran oleh masyarakat terhadap perusahaan asing seperti Freeport, British Petroleum (BP) dan lainnya. Kasus terakhir yang terjadi di Papua adalah kasus penembakan aparat terhadap para pendulang emas yang berakhir dengan pemblokiran oleh Masyarakat di Mile 72-74. Kejadian di PT FI (22/02/2006) tersebut adalah contoh kekerasan aparat maupun negara yang paling nyata karena sangat melecehkan orang Papua. Melecehkan karena hanya mendulang sisa-sisa dari tailing (sampah) tambang saja harus dihadapi dengan kekerasan bersenjata.


    Ironis, karena pencurian yang terjadi secara besar-besaran didepan hidung kita tak pernah kita protes tetapi ketika masyarakat kita yang mendulang ssampah Freeport dilecehkan kita bangkit untuk menuntut penutupan. Kita adalah tuan atas kekayaan alam, dan hal yang paling ditakutkan oleh rezim penindas adalah ketika seluruh kekuatan rakyat bersatu melakukan pemblokiran terhadap pertambangan asing dan menutupnya. Dijaman yang semakin modern ini ada banyak manusia dibelahan dunia manapun yang akan mendengar teriakan kita melalui semua saluran teknologi yang ada.

    Contoh yang paling kongkrit adalah kasus pemblokiran PT FI menjadi Headline utama berbagai media Nasional maupun Internasional karena menyangkut kepentingan pemilik modal berskala Internasional milik Amerika. Solusi yang ditawarkan oleh rezim SBY-Kalla sudah jelas ‘ yaitu memakai pendekatan keamanan” yang berarti akan terjadi lagi pengiriman pasukan organic dan non-organic di tanah Papua.

    Dapat dikatakan bahwa kejadian tersebut berindikasi pada 3 hal utama:

    1.Pengalihan isu dan perhatian masyarakat dari konflik Pemekaran Wilayah IJB, dan Pemekaran 2 Propinsi tambahan yaitu Irjateng, dan Irja Selatan (Merauke) yang sampai sekarang ditolak oleh MRP dan DPRD Propinsi Papua.

    2.Pengembangan struktur Militer dengan pembangunan KODAM/KOREM dengan tujuan meredam aspirasi yang berkembang dikalangan masyarakat akar rumput (grass roots).

    3.Sebagai alat utama menjaga dan mengamankan bisnis militer di seluruh wilayah Indonesia dengan tujuan melegitimasi militer untuk mengamankan kepentingan modal asing dengan pengesahan RUU Pengamanan Fasilitas Vital Negara oleh pihak militer yaitu TNI/POLRI.

    Ternyata kasus tersebut penuh dengan rekayasa dan sarat dengan kepentingan karena tuntutan masyarakat yang awalnya hanya meminta bertemu dengan komisaris tertinggi PT FI dibelokkan dan direkayasa degan politik adu domba yaitu dengan memunculkan isu kepentingan 7 suku yaitu meminta pembagian keuntungan sebesar 7% dan menolak mengakui bahwa kegiatan aksi yang dilakukan diberbagai kota di Indonesia oleh masyarakat maupun mahasiswa Papua sebagai bentuk dukungan tidak memiliki garis hubungan ataupun koordinasi dengan masyarakat 7 suku yang berada disekitar wilayah pertambangan PT FI.

    Itulah akhir dari drama penolakan terhadap keberadaan PT FI oleh masyarakat maupun mahasiswa Papua, karena ternyata Jakarta telah memainkan politik yang kotor dan telanjang didepan masyarakat Papua dan juga sangat melecehkan suara rakyat dengan memasang orang tertentu sebagai perwakilan kelompok untuk menyuarakan kepentingan tertentu yang pada saat yang bersamaan memadamkan api pemberontakan yang mulai panas. Sangat menyedihkan karena dengan satu statement yang dikeluarkan oleh Nico Magal (Jubir 7 suku) pada media SCTV (1/03/06)pada jam 24.00 langsung memadamkan api yang mulai menyala besar.

    Sebenarnya pembelokan dan penggembosan isu oleh Jakarta adalah untuk melihat sejauh mana gerakan protes masyarakat mampu bertahan, dan sampai dimana kesolidan masyarakat dalam mengangkat satu isu. Karena dengan statement yang dikeluarkan oleh perwakilan 7 suku tersebut bertujuan menciptakan konflik horizontal (antar masyarakat). Lantas untuk apa mahasiswa Papua ditangkap akibat bentrok dengan aparat, atau karena pengrusakan di Plaza Kuningan, dan penangkapan para aktivis kemanusian yang bersimpati pada permasalahan masyarakat Papua karena ternyata pengorbanan mereka menjadi tidak ada artinya sama sekali bahkan terlihat sebagai drama belaka yang ditonton oleh para provokator di Jakarta.

    Indikasi tersebut diatas adalah turunan dari kebijakan utama rezim SBY-Kalla yang keseluruhan programnya sangat jelas merupakan pendiktean dari kapitalisme dan neoliberalisme global dengan; Restrukturisasi asset-aset Nasional, Privatisasi BUMN, Pemotongan Subsidi di segala bidang). Pengimplementasian kebijakan diatas tentunya akan memiliki imbas yang akan menyengsarakan rakyat karena dengan alasan pembayaran utang luar negeri yang besar dimana keseluruhan beban akan dialihkan dipunggung rakyat Indonesia yaitu dengan kenaikan BBM/TDL. Bisa dibayangkan akan seperti apa morat-maritnya perekonomian Indonesia karena rakyat tidak mampu lagi beradaptasi terhadap kebijakan pemerintah.

    Pemerintah pusat terus saja meregulasi kebijakan baru tanpa menggubris protes yang datang dari masyarakat sedangkan sumber utama permasalahan yaitu tingginya tingkat KKN dikalangan elit belum tuntas diusut bahkan diadili. Perbuatan para koruptor kini dibebankan pada rakyat sedangkan pala criminal ekonomi tersebut bisa terus hidup tenang bahkan berleha-leha karena tidak bisa dijerat oleh aparat maupun hokum yang ada. Mereka bebas berkeliaran bahkan terkadang ada yang mendapat impunitas karena jaringan koneksi tingkat tinggi yang mereka miliki. Pertanyaannya adalah ‘sampai kapan rakyat kuat menanggung beban, sedangkan kebutuhan pokok dan mendasar seperti makan, pendidikan, dan kesehatan sulit terjangkau dengan jumlah rata-rata pemasukan yang sangat minim ??

    Sebenarnya dengan kandungan kekayaan alam yang katanya melimpah ruah Indonesia bisa saja mengimplementasikan kebijakan yang berpihak pada rakyat seperti yang dilakukan oleh pemimpin Chile (Evo Morales) maupun Venezuela (Hugo Chavez) yang menolak intervensi Negara asing dengan memberlakukan kebijakan yaitu menasionalisasikan asset-aset vital negara yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, seberapa berani pemerintahan SBY-Kalla mengambil langkah drastic ini karena hal tersebut berarti bantuan dan dikte dari Negara kapitalis dunia yang diberikan dalam bentuk skema SAP (Structural Adjusment Program) atau skema Penyesuaian Struktural lewat Bank Dunia, CGI dalam bentuk pemberian utang luar negeri akan berhenti sama sekali. Akibatnya, demi menyenangkan para taipan Internasional yang ada maka rezim Indonesia saat ini lebih memilih menggantung leher rakyatnya sendiri, bahkan membunuh secara paksa lewat kekuatan militer jika rakyat dianggap terlalu kritis dan mengganggu kepentingan asing. Hal itulah yang sedang terjadi di Papua saat ini....!! Pilihan yang kita miliki saat ini adalah “ Bangkit Melawan atau Mati Tertindas”.

    PATRIA O’MUERTE ~ Merdeka atau Mati~
    One People One Soul for One Unity of West Papua
    ___________________________________________________
    Penulis adalah seorang Mahasiswi Papua yang sedang menyelesaikan study di Universitas Satya Wacana Salatiga Jawa Tengah INDONESIA
    Diposkan oleh YOMAN WENDA KWEBY YANABEK di 05:49 0 komentar Link ke posting ini
    Label: WENE DETIUS YOMAN WENE TIOM MENDEK
    Reaksi:
    Langgan: Entri (Atom)
    Pengikut
    Arsip Blog

    * ▼ 09 (3)
    o ▼ April 2009 (3)
    + Senator AS Pertanyakan Keamanan Warga Papua
    + 156 OPM Menyerah - Serahkan 3 Pucuk Senjata, Diter...
    + AKSI TUJUH ELEMEN PERGERAKAN MHS DAN PRODEM TUNTUT...

    Mengenai Saya

    YOMAN WENDA KWEBY YANABEK

    Lihat profil lengkapku

    BalasHapus